Tatit Hari Pamungkas
NIM/BP 17356/2010
Tempat pengepulan barang rongsokan itu sering didatangi oleh para pemulung yang ingin menjual barang rongsokan yang telah didapatkannya. Sangat miris melihat para pemulung itu, pakaiannya kumuh, begitu juga badannya. Pemulung-pemulung itu terdiri dari anak-anak hingga orang tua yang seharusnnya tidak sanggup lagi bekerja.
Namun, dibalik kekumuhan tempat pengumpulan barang rongsokan itu, terdapat supermarket yang begitu mewah didekatnya, jaraknya sekitar 20 meter. Didepan supermarket tersebut dijadikan tempat untuk mengais rezeki bagi pengemis dan gelandangan. Kerjanya hanya meminta-minta uang. Ada yang meminta-minta di tangga masuk supermarket, dan di jalan depan supermarket.
Yang lebih memiriskan hati, pengemis-pengemis itu bukan saja memiliki tubuh yang kumuh namun juga memiliki kelainan fisik. Ada yang buta, ada yang punya kaki hanya satu, ada yang tangannya bunting, dan macam-macam. Keadaan mereka sungguh menyedihkan, terlebih bagi pengemis yang berusia lanjut dan anak-anak. Ntah kemana peran pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya.
***
Suatu pagi, seperti biasanya, aku ada perkuliahan pagi ini. Kebetulan untuk menuju ke kampus ku, aku harus melewati tempat pengepulan barang rongsokan dan supermarket itu. Tapi yang lebih utama aku selalu mengunjungi tempat pengepulan barang bekas itu dahulu untuk mengajak pergi ke kampus bareng Ardi--dia adalah kawan sejurusan dengan ku, juga kawan sekelas—seperti biasa kami selalu berangkat bareng kalau ada mata kuliah yang sama jadwalnya.
Waktu sampai di depan pengepulan, padahal masih jam 6.30 namun sudah ada seorang nenek yang sudah mengantarkan barang rongsokannya untuk dijual. Aku terheran kenapa pagi-pagi sudah menjual barang rongsokan. Aku Tanya kepada nenek tersebut, dia menjawab “ini barang cadangan nenek, yang dijual kalau nenek sedang tidak sehat dan sedang tidak sanggup memulung, nak” sambil terbatuk beberapa kali.
Aku termenung sejenak, hingga akhirnya memutuskan untuk memanggil Ardi saja. Tapi sebelum aku mengetuk pintu rumahnya--terletak di belakang tempat usahanya--dia sudah muncul. Kebetulan, aku tidak perlu teriak untuk memanggilnya. Dia sudah mandi, dan ternyata si nenek juga baru ketemu dengan Ardi. Nenek menunggu karna Ardi tadi sedang mandi.
Tanpa banyak buang waktu, kami bergegas berangkat ke kampus. Untuk melayani si nenek, ardi memanggil bapaknya untuk segera melayani si nenek yang sudah lama menunggu tadi.
***
Aku penasaran dengan nenek yang tadi. Ku bongkar rasa penasaran ini dengan bertanya kepada Ardi, “di, siapa sih nenek yang tadi tuh?” kemudian Ardi menjawab “ia, seorang nenek yang sangat miskin, ia hanya tinggal dengan anak laki-lakinya yang cacad mental. Penghasilannya hanya dari memulung”. Aku bertanya lagi “memang Cuma satu ya anaknya? Kalau ada yang lainnya, lantas pada dimana?”. Ardi menjawab dengan bahu terangkat “aku nggak tau, kata orang sih dia punya banyak anak, tapi nth iya atau nggak. Tapi aku yakin anaknya Cuma satu, yang cacad mental itu”. Aku tidak bertannya lagi. Padahal sejumlah pertanyaan terlintas dipikiran ku namun seolah-olah Ardi tak kan mampu menjawabnya.
Tak lama kemudian, kami sampai dikampus dan masuk ke kelas. Tapi dosen belum datang, akhirnya aku dan Ardi beserta kawan-kawan lainnya menunggu dosen tiba sambil menghisap rokok dan duduk duduk menyandar di dinding luar kelas.
***
Kuliah hari ini sudah selesai. Aku dan Ardi kembali pulang bebarengan. Kami kembali melewati supermarket yang megah itu. Ternyata kami melihat nenek tadi. Ia sedang berbicara dengan seorang pengemis. Nampak si nenek mengeluarkan beberapa uang dan memberikan kepada pengemis itu. Aku terkejut dan heran kenapa si nenek mau memberikan uangnya padahal si nenek dalam keadaan kurang sehat dan sedang butuh uang juga.
Mungkin Ardi tau apa yang sedang berkecamuk dalam pikiran ku. Ardi langsung bicara kepada ku “jangan heran, nenek itu memang miskin tapi ia punya hati yang baik. Ia rela berbagi dengan orang lain”. Aku menjawab “oo….sungguh mulia hati nenek itu. Padahal dia kata nenek tadi dia menjual barang rongsokan yang dia cadangkan untuk saat yang mendesak, dan keadaan nenek sekarang ini sebenarnya sedang terdesak, dia sedang tidak bisa bekerja karna kesehatannya sedang terganggu…” . Ardi memotong percakapan “ya, begitulah dia. Hatinya mulia”.
***
Kini aku mulai sering mendengar cerita tentang nenek pemulung itu dari banyak orang. Ceritanya tak lebih sebagai seorang nenek miskin nan baik hati. Aku mulai tertarik dengan kisah hidupnya. Aku berencana menuliskan kisahnya menjadi sebuah novel. Namun karna tugas kuliah lapangan di daerah lain, aku tunda rencanaku hingga minggu depan, karna untuk menyelesaikan tugas lapangan ku membutuhkan waktu satu minggu.
***
Hari ini hari minggu, sudah waktunya mengakhiri tugas lapangan ku dan bergegas kembali pulang. Sesampainya di rumah, aku mulai memikirkan kerangka novel ku, cerita tentang apa saja yang harus aku dapatkan dari nenek. Begitu siap, aku mulai berangkat menuju tempat pengepulan barang rongsokan pak Hamid. Barangkali nenek ada disana.
Sesampainya di tempat usaha pak Hamid, ternyata si nenek sedang tidak ada disana, kenudian aku bertanya kepada pak Hamid tentang keberadaan si nenek yang cirri-cirinya ku ceritakan kepada pak Hamid. Beruntung pak Hamid mengenalnya. “nenek itu sudah meninggal 3 hari yang lalu” kata pak Hamid. Aku sangat terkejut mendengarnya, aku menjawab dengan nada terkejut “inanilahi….kenapa dia meninggal pak? Pak hamid menjawab “ia meninggal karena tertabrak mobil ketika menolong menyeberangakan jalan pengemis yang buta. Supir mobil itu dalam keadaan ngantuk sehinggan mobil yang dibawanya oleng dan menumbur si nenek, beruntung pengemis yang buta itu selamat karna didorong oleh nenek”. Miris rasanya mendengar cerita peristiwa itu, “lantas bagaimana dengan anaknya yang cacad itu pak? Kemudian pak hamid menjawab “anak yang cacad itu dibawa oleh kakaknya” aku memotong pembicaraan “tapi ia tidak punya anak lain pak? Pak Hamid menjawab “itulah kebesaran allah, asal kamu tau, ternyata yang menabrak nenek itu adalah kawan dari anaknya si nenek, pengendara mobil itu kenal si nenek, kemudian menelepon seorang pria. Ketika pria itu tiba dilokasi kejadian dengan menggunakan mobil yang mewah dan dandanan ala orang kaya, pria itu langsung memeluk si nenek dan menggotongnya masuk kedalam mobil. Begitu ditanya oleh pihak polisi yang ada ditempat kejadian. Ternyata pria itu adalah anak ke-empatnya. Ia seorang dokter. Pria itu menjelaskan sebenernya nenek ini adalah ibu kami. Kami lima bersaudara, anak yang pertama adalah seorang kepala Rumah Sakit, yang kedua adalah seorang pengusaha ekspor-impor, yang ketiga adalah seorang manager perusahaan tambang asing, di Papua, dan yang ke-lima adalah seorang yang cacad mental yang tinggal bersama nenek selama 5 tahun terakhir ini. Nenek adalah seorang pekerja keras, ia tidak mau hidup dengan hanya menerima uang dari anak-anaknya. Sehingga ia memilih untuk hidup berdua dengan adik saya yang bungsu. Dan si nenek itni atau emak saya ini meminta kepada kami untuk merahasiakan yang sesungguhnya.” Begitu informasi yang didapat oleh pak Hamid.
Aku terduduk setelah mendengar cerita pak Hamid tadi. Kini aku sadar, ternyata seorang yang dalam keadaan miskin hingga tua tidak selalu orang-orang yang tidak pekerja keras. Aku belajar dari seorang nenek yang tua, lemah, dan keriput. Aku belajar tentang kebaikan hatinya, kerendahan hatinya, dan semangat kerja yang kuat.